Rabu, 08 Juni 2016

Review Buku: The Architecture of Love - Ika Natassa

Judul: The Architecture of Love
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2016
Tebal: 304 halaman
ISBN: 978-602-03-2926-0


But we are all strangers to one another until we find something that connects us, right?


Blurb:
New York mungkin berada di urutan teratas daftar kota yang paling banyak dijadikan setting cerita atau film. Di beberapa film Hollywood, mulai dari Nora Ephron's You've Got Mail hingga Martin Scorsese's Taxi Driver, New York bahkan bukan sekadar setting namun tampil sebagai "karakter" yang menghidupkan cerita.

Ke kota itulah Raia, seorang penulis, mengejar inspirasi setelah sekian lama tidak mampu menggoreskan satu kalimat pun.

Raia menjadikan setiap sudut New York "kantor"-nya. Berjalan kaki menyusuri Brooklyn sampai Queens, dia mencari sepenggal cerita di tiap jengkalnya, pada orang-orang yang berpapasan dengannya, dalam percakapan yang dia dengar, dalam tatapan yang sedetik-dua detik bertaut dengan kedua matanya. Namun bahkan setelah melakukan itu setiap hari, ditemani daun-daun menguning berguguran hingga butiran salju yang memutihkan kota ini, layar laptop Raia masih saja kosong tanpa cerita.

Sampai akhirnya dia bertemu seseorang yang mengajarinya melihat kota ini dengan cara berbeda. Orang yang juga menyimpan rahasia yang tak pernah dia duga.

Review:

You know you’ve read a good book when you turn the last page and feel a little as if you have lost a friend–that’s how I feel every time I finish Ika Natassa’s books. Sukses dengan A Very Yuppy Wedding (2007), Divortiare (2008), Antologi Rasa (2011), Twivortiare (2012), Twivortiare 2 (2014), Critical Eleven (2015), dan Underground (2016), Ika Natassa kembali melahirkan sebuah novel yang disambut hangat oleh para pembacanya yaitu The Architecture of Love.

Pada Twivortiare, Ika membuat novel dengan konsep Twitter di mana cerita yang disampaikan berasal dari kumpulan tweets, kali ini Ika menghidangkan The Architecture of Love dengan konsep yang juga tidak biasa. Dia memanfaatkan fitur Twitter Poll dengan mengajak pembaca yang juga followers Twitter-nya untuk ikut serta menentukan alur cerita dari awal sampai ending.

Terdengar unik, bukan? Sama seperti novel-novel sebelumnya, Ika Natassa tidak pernah tidak mengecewakan pembaca. Meskipun pada Twitter Poll pembaca ikut serta dalam menentukan kejadian-kejadian yang akan terjadi, Ika mampu membungkus cerita ini dengan sangat baik, ia mengembangkan sebuah ide sederhana menjadi sesuatu yang tidak dapat kita tebak akan mengarah ke mana.

Kisah ini dimulai saat Raia menghadiri pesta pergantian tahun bersama sahabatnya, Erin, di apartemen Aga. Sesaat setelah teriakan penanda tahun baru terdengar, Raia yang memisahkan diri dari kerumunan tidak sengaja bertemu dengan seorang lelaki di sebuah ruangan yang gelap. Sweater abu-abu, celana jins, dan kaus kaki hijau. Laki-laki dengan sorot mata tajam yang tidak Raia ketahui namanya tersebut berhasil mengusik rasa penasaran yang ada di dalam dirinya.


“Tapi Tuhan punya cara-Nya sendiri untuk mempertemukan dan memisahkan, menjauhkan dan mendekatkan, yang tidak pernah bisa kita duga-duga.”


Tidak pernah Raia sangka, di tengah keramaian Wollman Skating Rink, dia kembali dipertemukan dengan lelaki berkaus kaki hijau. Namun, kali ini Raia beruntung untuk mengetahui nama lelaki tersebut. River. The coolest name she has ever heard. And the coolest guy she has ever meet.

Pertemuan kedua River dan Raia pada siang itu adalah awal dari petualangan mereka mengelilingi New York. River berkeliling untuk mengunjungi tempat di mana ia bisa menggambar dan Raia ikut berkeliling bersama River untuk mencari inspirasi menulis. Semakin lama menghabiskan waktu bersama River, Raia sadar bahwa laki-laki misterius itu memiliki kesamaan dengan dirinya–mereka memiliki at least one secret that will break people heart.



“Because you’re as lost as I am, Raia. And in a city this big, it hurts less when you’re not lost alone.”


Sejauh ini, membaca novel-novel Ika Natassa dari Critical Eleven–novel Ika yang pertama kali kubaca–sampai The Architecture of Love, aku masih saja jatuh cinta dengan bahasa yang digunakan. Sederhana, jujur, dan mengalir begitu saja. Tidak hanya berhasil membuat pembaca terkagum-kagum sampai baper dengan karakter-karakternya yang too-good-to-be-true, menurutku Ika juga berhasil membuat cerita yang membawa siapa saja yang membaca karyanya ikut hadir di tengah-tengah cerita tersebut lewat tulisan-tulisannya yang sangat nyata. Bagaimana Ika menjelaskan sesuatu, apa pun itu, sangatlah detail dan tidak setengah-setengah.

Dalam The Architecture of Love, kita diajak Ika mengelilingi New York bersama River dan Raia, mengunjungi gedung-gedung serta tempat-tempat yang menarik. Di sini, Ika dengan sangat baik menjelaskan detail demi detail tempat yang dikunjungi oleh River dan Raia. Whispering Gallery, Flatiron Building, New York Public Library, sampai Paley Park yang sangat menarik perhatianku. Oh, I wish there could be a place like that in my city.

Dengan River kita diajak untuk mengunjungi gedung-gedung yang menjadikan sosoknya yang dingin terlihat berbeda di mata Raia. River dengan penuh semangat menjelaskan setiap detail serta sejarah dari tempat yang mereka kunjungi. Kalau kata Raia, “Siapa pun yang sedang bercerita dengan semangat tentang sesuatu yang menjadi passion-nya memang entah bagaimana selalu terlihat seksi,” Sedang dengan Raia, penulis best-seller yang mengekor River pergi menggambar untuk mencari inspirasi, kita diajari untuk menulis cerita karena kita cinta menulis, menulis kisah karena ada yang ingin kita ceritakan, bukan karena sebuah popularitas.

Sungguh perpaduan yang sangat menarik, memadukan seorang arsitek dan penulis yang sama-sama mencintai passion-nya dan juga sama-sama berusaha menjalani hidup dengan bayang-bayang masa lalu. Ya, The Architecture of Love adalah novel yang menceritakan bagaimana seseorang bangkit dari keterpurukan dengan menekuni apa yang mereka cintai sampai mendapatkan kembali siapa yang pantas mereka cintai.

Beberapa pembaca ada yang menanyakan apakah sebelum membaca The Architecture of Love harus membaca novel-novel tertentu–seperti membaca Twivortiare yang harus membaca Divortiare terlebih dahulu–well, jawabannya tidak. The Architecture of Love ini memiliki cerita tersendiri, hanya saja tokoh Raia Risjad masih berhubungan dengan kedua lelaki yang sampai sekarang masih menarik hati pembaca setia Ika Natassa, siapa lagi kalau bukan kakak beradik, Ale dan Harris Risjad.

Untuk kalian yang sudah pernah membaca Antologi Rasa dan Critical Eleven, serta masih tergila-gila dengan kedua lelaki tersebut, surprise! Yeah. Kalian bakalan melepas rindu dengan mereka di novel ini. Apa peran mereka? Well, cari tahu sendiri, ya! Yang pasti tingkah mereka kalau lagi ngumpul-ngumpul benar-benar menggemaskan. Terutama untuk orang sepertiku yang masih jatuh cinta dengan sosok Aldebaran Risjad. Maaf, ya, River, Ale still holds a special place in my heart.

Untuk cerita yang diangkat pada The Architecture of Love tergolong sederhana dibandingkan Critical Eleven dan konflik yang disuguhkan pun tidak terlalu berat seperti novel-novel Ika yang lain. The Architecture of Love hanyalah sebuah novel sederhana yang mengisahkan dua manusia di masa pelarian mereka yang kemudian dihubungkan oleh gedung-gedung yang mereka datangi untuk menjemput inspirasi.

Menurutku, The Architecture of Love adalah bacaan yang cukup ringan dan manis, sangat manis. Ika menggambarkan tokoh River dan Raia yang seakan-akan kembali jatuh cinta layaknya sepasang anak SMA. Bagaimana Raia menggoda River dengan sebutan Bapak Sungai dan River yang senang sekali menggoda Raia dengan jurus Tom & Jerry-nya. Seperti yang aku bilang, manis, sangat manis.

Di dalam novel ini, Ika berkali-kali mengulang sebuah kalimat sederhana yang entah mengapa terdengar luar biasa. Luar biasa menenangkan. Luar biasa menyakitkan. Luar biasa membingungkan.


“Disayangi itu menyenangkan, Riv.”


Ah, boleh aku ulang lagi? Disayangi itu menyenangkan, Riv. Kalimat tersebut dilontarkan oleh Paul, sahabat River, yang membuatku sama berpikirnya dengan River.

Memang bukan Ika Natassa namanya kalau tidak berhasil memberi pembaca asupan-asupan berupa kalimat-kalimat yang quoteable. Banyak sekali kalimat-kalimat sederhana yang menurutku sangat realistis di dalam novel ini. Kalimat-kalimat yang membuat hati siapa pun yang membaca ikut tergerak dan tersadar bahwa hal-hal tersebut juga sering terjadi di kehidupan kita.

Overall, aku senang sekali dengan The Architecture of Love dan memberikan novel ini 4 dari 5 bintang! Kalau kalian penikmat novel-novel Ika Natassa atau baru membaca beberapa dari novelnya, kalian tetap tidak boleh melewatkan novel yang satu ini. Kapan lagi bisa keliling New York ditemani seorang arsitek dan penulis yang berhasil mengajari kita melihat New York dengan cara mereka masing-masing?


“People say that Paris is the city of love, but for Raia, New York deserves the title more. It’s impossible not to fall in love with the city like it’s almost impossible not to fall in love in the city.”


***



Terima kasih sudah berkunjung! Selamat menikmati The Architecture of Love ditemani Raia dan River selaku Raia's Private Guide Tour. Sampai jumpa di postingan selanjutnya, ya! Semoga di lain waktu kita juga bisa menikmati New York dan melihatnya dengan cara kita sendiri.



  

                                                                                             






Share:

3 komentar:

  1. The Arcitecture of Love, Ika Nattasa. Gue mulai menyukai karya-karya ika sejak gue membaca Critical Eleven. Membaca karya nya membuat gue larut dalam alur dan gaya bahasa metro pop nya asik.

    Hmmm, pengen lah waktu itu mau PO juga, tapi lihat kantong gak ada duit. Yah moga-moga aja akhir ramadhan menjelang idul fitri, buku ini udah ada di gramedia padang ^^

    Nice blog dan salam kenal! :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, sama! Aku pertama kali baca Critical Eleven dan langsung berburu novel-novel Ika yang lain. Well, semoga cepat kebeli ya, soalnya menurutku buku ini a must-read buat yang sudah baca CE. Terima kasih sudah mampir ke sini ya!

      Hapus
  2. ini buku kedua setelah antologi rasa yang saya baca hehe salam kenal ya http://www.reviewdansinopsis.com/

    BalasHapus